Nalarku.com – Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ” Ketika para pedagang gemar mencurangi timbangan, pasti manusia akan ditimpa musim paceklik panjang, biaya hidup yang tinggi dan kelaliman penguasa. Manakala orang-orang kaya enggan mengeluarkan zakat, pasti air hujan akan ditahan turun dari langit. Andaikata bukan karena (belas kasihan terhadap) hewan-hewan ternak, niscaya hujan tidak akan pernah turun lagi.” (HR. Ibnu Majah No. 4019).
Hadis di atas sejalan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al Qur’an surah Al Muthaffifin: 1-3 yang berbunyi :
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan Al Muthaffifin adalah perbuatan curang ketika menakar dan menimbang. Bentuk kecurangan itu bisa berbentuk permintaan untuk ditambah lebih ketika ia meminta orang lain untuk menimbang atau dikurangi jika ia menimbangkan untuk orang lain. Kecurangan inilah yang membawa akibat pedih yaitu berupa kerugian dan kebinasaan. Ia mengira kecurangan itu menguntungkan bagi dirinya, padahal mencelakainya.
Perbuatan curang ini ternyata tidak hanya menjangkiti para pedagang sebagaimana disebut dalam teks Al Quran dan Hadis. Penyakit curang juga menjangkiti seluruh manusia dengan berbagai profesinya. Mereka bisa berprofesi sebagai pejabat pemerintahan, pegawai swasta, guru, polisi, tentara, siswa dan sebagainya.
Pejabat yang mencuri harta negara berarti telah berbuat curang terhadap rakyatnya. Mereka mengkhianati amanah rakyatnya. Mereka mengira dengan korupsi akan lebih bahagia, padahal sedang menggali kesengsaraan diri dan keluarganya.
Pegawai yang sengaja (sering) telat masuk kerja atau pulang sebelum waktunya tanpa alasan syar’i, mereka telah berbuat curang terhadap instansinya. Mereka tidak menunaikan tugas secara sempurna sebagaimana diatur dalam regulasi yang mengikatnya. Mereka melanggar sumpah jabatan yang pernah diucapkannya. Padahal setiap awal bulan mereka mengambil bayaran atau gaji dengan hitungan sebulan penuh.
Guru yang mengakali mesin presensi, datang presensi pagi kemudian balik pulang atau pergi lagi tanpa alasan syar’i kemudian datang lagi di sore hari untuk presensi pulang, telah melakukan kecurangan. Mereka curang kepada pemerintah dan rakyat yang memberinya amanah pendidikan. Padahal mereka digaji secara penuh setiap awal bulan.
Guru yang tidak menampilkan dirinya sebagai sosok yang bisa digugu dan ditiru, mereka telah berbuat curang (bahkan jahat) kepada siswanya. Sebab mereka mengkhianati amanah sebagai pendidik yang seharusnya menjadi teladan bagi siswanya. Mereka membunuh tunas-tunas masa depan dengan perilakunya yang bertentangan dengan visi dan misi pendidikan.
Jika kecurangan ini dianggap sebagai suatu yang wajar, padahal itu satu bentuk dosa, maka peringatan Allah pasti akan hadir. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah yang disebutkan di atas, peringatan keras itu bisa berbentuk paceklik panjang. Paceklik panjang itu bisa berupa kekurangan pangan, sakit, atau musibah lainnya.
Tentu tidak ada orang yang ingin mengalami musibah karena kecurangan ini. Oleh karena itu, semua orang harus introspeksi setiap saat. Meluruskan amalnya masing-masing. Sudahkan pekerjaan kita ditunaikan sesuai amanah dan regulasi yang mengikat profesi? Dan jika selama ini terlanjur melakukan kesalahan, maka masih ada jalan kembali, yaitu taubat dan memperbaiki diri.
Semoga semua orang menemui jalan keselamatan dengan muhasabah. Wallaahu a’lam bis shawab.
Arifin, Wisma MM UGM, 08 Feb.2020