nalarku.com – Sekitar tahun 1993, saat saya kuliah S-1 di Yogyakarta, saya membaca buku kumpulan kolom Cak Nun yang berjudul Slilit sang Kiai. Salah satu tulisan yang menginspirasi saya adalah satu kolom yang berjudul Slilit sang Kiai yang kemudian dijadikan judul buku tersebut. Buku itu tersimpan rapi di rak buku saya. Selalu kubuka saat rindu.
Dalam kolom tersebut diceritakan tentang slilit seorang kiai yang menjadi penghambat dia masuk surga. Alkisah, seorang kiai meninggal dunia. Setelah mengubur jenazah sang kiai, para santri kemudian nglembur mengaji berhari-hari. Mereka mendoakan sang kiai sekaligus menumpahkan rindu. Mereka ingin bertemu sang kiai walaupun dalam mimpi.
Kuasa Tuhan membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin. Maka dalam tidurnya, para santri bermimpi bertemu dengan sang Kiai. Terjadilah dialog singkat antara santri dan Kiai.
Ketika para santri menanyakan keadaan sang Kiai di alam sana, dia menjawab, ” Baik-baik, Nak. Dosa-dosaku umumnya diampuni. Amalanku diterima. Cuma satu hal yang membuatku masygul. Kalau kalian ingat waktu itu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen ? Sehabis makan bareng, hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang, di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa tidak membawa tusuk slilit, maka aku mengambil potongan kayu kecil dari pagar orang. Kini alangkah sedihnya, aku tidak sempat minta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku?” (Emha Ainun Najib, 1993).
===
Dialog kecil santri dengan sang Kiai dalam kolom Slilit sang Kiai begitu membekas dalam pikiranku. Betapa sang Kiai begitu masygul hanya karena “potongan kayu kecil” yang diambilnya dari pagar orang. Lalu, bagaimana dengan aku , dengan kita sebagai seorang guru? Berapa potong waktu, berapa panjang hak, dan berapa banyak kewajiban yang kita ambil, kita curi dan kita lalaikan?
Sebagai seorang guru, kita bangga dengan posisi terhormat yang disematkan oleh masyarakat terhadap profesi satu ini. Bahkan ada yang menyusun narasi bahwa guru lah yang nantinya masuk surga paling awal. Benarkah? Tampaknya masih perlu banyak introspeksi. Masih banyak “potongan kayu kecil” yang menambah bukit dosa dan membuat surga tidak rela kita masuki.
“Potongan kayu kecil” itu adalah mencuri waktu. Kita begitu ringan datang ke sekolah di pagi hari, menempelkan jari kita ke tombol presensi, menuliskan nama kita di baris daftar presensi, lalu kita pulang lagi. Kita juga masih begitu santainya masuk ruang kelas setelah sekian menit bel tanda masuk berbunyi dan mengakhiri pelajaran sekian menit sebelum bel pergantian waktu berbunyi. Kita tidak sadar, kita sedang mencuri.
“Potongan kayu kecil” itu adalah malas. Malas menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran yang berkualitas great. Mengajar tanpa persiapan bagus sehingga siswa pun ogah-ogahan belajar. Metode yang kita gunakan dari awal hingga akhir semerter itu-itu saja, monoton. Para siswa mengalami layu pikir karena daya aktif fisik dan mentalnya tidak terstimulasi. Kita tidak sadar, kemalasan kita menyebabkan terbunuhnya talenta terbaik siswa.
“Potongan kayu kecil” itu bisa berupa mencari untung dari kegiatan siswa. Sering kita simak berita tentang dana rekreasi yang disunat. Ada guru yang mencari untung dari kegiatan rekreasi siswa. Rekanan (biro travel) kegiatan memberikan komisi lebih kepada guru di luar honor pokok yang diterima. Kita tidak sadar bahwa kita sedang mencuri hak siswa. Komisi yang kita terima mengurangi hak siswa memperoleh layanan terbaik dari biro travel.
“Potongan kayu kecil” itu adalah honor tambahan yang tidak jelas. Dari mana asal muasal ketidakjelasan itu? Dari pengelolaan keuangan sekolah. Banyak prosedur pengelolaan keuangan yang mengarahkan sekolah berbuat tidak jujur. Laporan penggunaan dana harus bagus dan menunjukkan daya serap yang tinggi. Maka terjadilah sulap. Guru melakukan tanda tangan kegiatan fiktif. Nah, dari ketidakjelasan dan sulap laporan itulah honor tambahan diambil. Guru tidak sadar bahwa dia sedang menerima uang haram atau setidaknya subhat.
“Potongan kayu kecil” itu adalah ngarang biji. Apa itu ngarang biji? Merekayasa angka rapor siswa. Ada cerita lucu tentang kasus rekayasa nilai rapor. Di akhir semester, siswa yang empat bulan silam meninggal dunia, ternyata masih memperoleh rapor dengan angka penuh. Lalu, dari mana angka-angka itu? Ada pula mata pelajaran yang tidak diujikan karena gurunya lupa menyusun soal, nilainya tetap muncul di daftar nilai siswa. Ini terdengar sangat remeh, tetapi pertanggung jawabannya berat. Dan guru kadang tidak sadar bahwa ia sedang membuat kesalahan besar.
Pintu surga memang terbuka untuk guru. Surga merindukan kedatangan para guru mulia. Tapi surga juga berhak menolak kehadiran guru, yaitu guru yang terlalu banyak membawa “potongan kayu kecil”di pundaknya.
Arifin, Introspeksi akhir Tahun 2019