Implementasi Prematur Program Sekolah Penggerak

Penguatan Karakter Peserta Didik di Masa Pandemi
April 9, 2021

Implementasi Prematur Program Sekolah Penggerak

Oleh Arifin

Nalarku.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek RI tampaknya sudah bulat akan mengimplementasikan Program Sekolah Penggerak (PSP) mulai tahun pelajaran 2021-2022 ini. Menurut rencana, Program Sekolah Penggerak ini akan dilaksanakan di 111 kabupaten/kota dengan sasaran sebanyak 2.500 sekolah jenjang PAUD, SD, SMP, SMA dan SLB. Melihat dari tujuan dan konsepnya, PSP memiliki niat dan arah yang baik, namun jika dilihat dari tahapan implementasi di satuan pendidikan PSP berpotensi menimbulkan masalah.

Sekolah Penggerak sendiri didefinisikan sebagai sekolah yang berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik dengan mewujudkan profil pelajar Pancasila yang mencakup kompetensi kognitif (literasi dan numerasi) serta non kognitif (karakter) yang diawali dengan SDM unggul, yakni kepala sekolah dan guru. Sekolah Penggerak ini dipersiapkan menjadi katalis bagi sekolah-sekolah lain.

Persiapan implementasi dimulai dengan melatih beberapa guru satuan pendidikan sasaran melalui learning management system (LMS) dengan mode sinkron dan asinkron. Materi-materi pokok terkait PSP dikaji dalam pelatihan selama 10 hari. Materi tersebut meliputi konsep dan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, kerangka kurikulum PSP, prinsip pembelajaran, profil pelajar Pancasila, capaian pembelajaran, alur tujuan pembelajaran, asesmen pembelajaran, pembuatan modul ajar, cara menyusun kurikulum operasional satuan pendidikan dan literasi digital. 

Potensi Masalah

Sebenarnya, konten pelatihan implementasi PSP sangat bagus dan sistematis. Diawali dari hal paling mendasar yaitu filosofi pendidikan dan kebudayaan Ki Hadjar Dewantara yang menjadi semangat utama perubahan, kemudian disusul dengan konsep-konsep praktis terkait dengan administrasi kurikulum dan penyusunan perangkat ajar. Namun, persiapan implementasi PSP ini menyisakan masalah dan berpotensi mengurangi efektifitas implementasi PSP itu sendiri.

Potensi masalah itu muncul dari pendeknya waktu persiapan implementasi, kesiapan guru dalam memahami kurikulum dan menyiapkan perangkat kurikulum operasional serta sosialisasi kepada calon peserta didik.

Guru dan sekolah hanya memiliki waktu efektif satu bulan untuk mempersiapkan diri dalam menerapkan kurikulum penggerak di satuan pendidikannya. Waktu yang sangat pendek untuk sebuah gagasan besar. Sebagian guru telah mengikuti pelatihan tahap pertama mulai akhir Mei 2021 hingga awal Juni 2021 dengan model pelatihan yang cepat dan tuntutan penguasaan konten yang banyak. Hasilnya tentu saja belum  maksimal. Padahal guru yang telah dilatih ini memiliki tanggung jawab mendiseminasikan hasil pelatihannya kepada guru lainnya di sekolah.  Dengan modal pemahaman yang minimal, maka hasil diseminasinya pun akan kurang maksimal pula.

Dalam waktu satu bulan ke depan hingga akhir Juli 2021, sekolah dan tim pengembang  harus menyusun kurikulum operasional satuan pendidikan (KOSP). Setelah KOSP tersusun, para guru yang masih minim bekal pemahamannya tentang semangat dan konten kurikulum baru ini harus segera menyusun perangkat ajar. Mereka harus menerjemahkan Capaian Pembelajaran (CP) ke dalam Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), menyusun modul ajar, dan merancang asesmennya. Bisa dibayangkan, betapa para guru dipaksa melalui proses instan untuk sebuah gagasan besar.

Para guru ini seperti orang yang mengikuti kursus nyetir dadakan. Mereka dilatih mengendarai mobil selama satu hingga dua minggu pertemuan dengan jam terbang yang sangat minim, kemudian mereka dipaksa mengendarai bus jurusan Yogya – Jakarta untuk mengantarkan para penumpang yang masih kebingungan dengan arah dan rute jalan. Mungkinkah bus tersebut sampai tujuan?  Kemungkinan selalu ada. Bus mungkin sampai di Jakarta, namun juga dengan disertai kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya, misalnya terjadi srempetan, tabrakan kecil, tersesat jalan, terjebak di jalan buntu dan mengalami siksaan mental.

Potensi masalah juga akan muncul karena minimnya informasi yang dimiliki calon peserta didik (CPD) terkait dengan perubahan sistem sekolah penggerak. Para CPD masih familiar dengan sistem PPDB lama dimana CPD harus memilih program penjurusan (IPA, IPS, atau Bahasa). Sementara, PSP tidak lagi mengenal penjurusan di awal masuk sekolah. Semua siswa masuk satu jurusan , yaitu PSP.

Masalah akan menjadi lebih rumit ketika sistem dan aplikasi PPDB yang disiapkan oleh penyelenggara sekolah, dalam hal ini Dikpora, belum menyesuaikan dengan sistem PSP. Dikpora masih memanfaatkan sistem lama dengan pintu masuk CPD dalam penjurusan. Para CPD akan merasa seperti salah masuk jebakan, mereka terlanjur mantap memilih jurusan IPA, IPS atau Bahasa, namun ternyata mereka hanya masuk satu ruang saja yaitu PSP.

Akselerasi

Potensi masalah ini tidak akan terjadi jika satuan pendidikan dan guru diberi kelonggaran waktu dalam mempersiapkan diri. Idealnya, guru membutuhkan waktu minimal enam bulan sebelum implementasi untuk menyelami konsep PSP dan menyiapkan segala pernak-pernik perangkat operasionalnya. Guru masih mampu bernafas normal dalam mempersiapkan diri di tengah semua keterbatasan masa pandemi.

Kenyataannya guru hanya memiliki waktu satu bulan. Satu bulan persiapan itu sangat luar biasa, guru dianggap seperti Bandung Bondowoso yang mampu membangun seribu candi dalam waktu satu malam. Guru seperti masuk dalam dilema. Tidak ada kata mundur, mau tidak mau harus menerima dan melakukannya karena surat perintah sudah ditandatangani sang raja. Guru harus menerima kenyataan bahwa satuan pendidikannya terpilih menjadi pilot project PSP.

Dalam kondisi seperti itu, satu-satunya yang bisa dilakukan guru adalah menambah akselerasi dalam memahami kurikulum baru tersebut jika kurikulumnya sudah terbit nantinya (wkkk), segera menambah kecepatan belajar menjadi guru model baru yaitu guru merdeka, segera menyusun perangkat operasional PSP dan melakukan simulasi-simulasi pembelajaran yang benar-benar menjiwai filosofi dan konsep baru yang ditawarkan PSP. 

Jika tidak ada gerakan akseleratif dalam mensikapi implementasi dadakan PSP ini maka endingnya bisa diprediksi, yaitu wadah baru isi lama. Wadahnya sih tampak PSP tapi gaya mengajar, pola interaksi pembelajaran, model dan metodenya masih jadul atau bahkan tak berbentuk. Ini yang menjadi kekhawatiran. Wallahu a’lam bis shawab

Arifin, Gunungkidul 12 Juni 2021 Pukul 06.00

2 Comments

  1. Titin berkata:

    Mantabs,
    Semangat para guru kelas X sekolah penggerak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hubungi Sekarang