Nalarku.com. Sabtu, 26 Desember 2020 – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mas Nadiem Makarim sebelumnya telah menyampaikan rencana pembelajaran tatap muka pada semester dua. Sekolah diperbolehkan membuka kembali proses pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021. Namun, rencana ini tampaknya akan tertunda. Di beberapa daerah, penambahan kasus positif Covid-19 masih tinggi. Banyak guru yang terinfeksi dan meninggal dunia, seperti kasus di Surabaya di mana ada 393 guru terpapar (jawapos,2/9/2020) dan di Kabupaten Kudus di mana 43 guru terpapar dan 5 meninggal dunia (detiknews, 07/12/2020).
Melihat perkembangan kasus Covid-19 yang belum juga mereda, pemangku kepentingan pendidikan di daerah tentu akan hati-hati untuk memberikan ijin pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah. Resikonya tentu sangat besar. Kesehatan dan keselamatan jiwa guru dan peserta didik tentu menjadi pertimbangan utama. Atas pertimbangan itu, Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bergerak cepat dengan menerbitkan Keputusan Gubernur no. 388/KEP/2020 tentang Penetapan Perpanjangan Kedelapan Status Tanggap Darurat Bencana Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Surat Keputusan Gubernur D.I.Yogyakarta tersebut menetapkan perpanjangan status tanggap darurat yang kedelapan untuk bencana Covid-19. Status tanggap darurat diperpanjang lagi mulai tanggal 1 Januari 2020 sampai dengan tanggal 31 Januari 2021. Status tersebut dapat terus diperpanjang sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang terjadi. Dengan perpanjangan status darurat ini, semua sekolah di wilayah D.I.Yogyakarta jelas tidak akan membuka pembelajaran tatap muka di sekolah. Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten tentu akan mengikuti arahan Gubernur dalam SK tersebut. Apalagi dalam perkembangan terakhir ditemukan beberapa kasus guru dan peserta didik di sekolah dan pesantren di wilayah D.I.Yogyakarta yang terpapar Covid-19.
Evaluasi. Dapat dipastikan bahwa sekolah-sekolah di D.I.Yogyakarta tetap akan menggunakan pola pembelajaran jarak jauh pada semester dua tahun ajaran 2020/2021 ini. Itu artinya, para guru dan peserta didik belum bisa melakukan tatap muka di sekolah. Mereka akan tetap menggunakan kembali beberapa platform pembelajaran atau Learning Management System (LMS) sebagai pendukung proses interaksi mereka, misalnya google classroom, Microsoft Team atau aplikasi sederhana misalnya Whatsapp, Kaizala dan sebagainya.
Tahapan penting yang harus dilakukan sekolah sebelum memulai proses pembelajaran di semester berikutnya adalah melakukan evaluasi. Apakah proses pembelajaran jarak jauh di semester sebelumnya cukup efektif? Apakah para guru benar-benar mampu mengelola pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi yang ada? Dan apakah para peserta didik mampu menyerap dan menginternalisasikan kompetensi yang mereka kaji melalui mode daring selama ini ?
Ada dugaan bahwa guru belum maksimal dalam mengelola interaksi pembelajaran daring. Hal ini dapat dibaca dari keluhan para peserta didik. Para peserta didik mengeluhkan tentang banyaknya tugas daring yang diberikan guru. Mereka juga menyampaikan tentang guru yang kurang terampil dalam memanfaatkan media sehingga pembelajaran cenderung monoton. Guru hanya memberikan tugas melalui laman google classroom dan whatsapp. Bahkan ada peserta didik yang sama sekali belum mengenal wajah gurunya selama satu semester karena belum pernah ada tatap muka secara daring. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas pembelajaran dan prestasi peserta didik.
Perbaikan Kualitas Pembelajaran. Tantangan pembelajaran di semester berikutnya tentu akan lebih berat. Sekolah perlu membuat kebijakan cerdas dalam mensikapinya. Diantaranya adalah dengan melakukan perbaikan kualitas pembelajaran. Bagaimananya caranya? Salah satu cara yang harus ditempuh oleh sekolah adalah dengan melatih para guru dalam memanfaatkan teknologi pendidikan yang ada.
Masih banyak guru yang belum mampu membuat media pembelajaran secara mandiri. Mereka masih mengandalkan karya orang lain yang mereka unduh dari YouTube. Padahal, belum tentu media tersebut cocok dengan konteks peserta didik di wilayah mereka. Peserta didik di Jakarta tentu saja berbeda dengan yang di Gunungkidul.
Banyak aplikasi sederhana yang bisa dimanfaatkan guru dalam membangun konten media pembelajaran mereka, misalnya Kinemaster atau lainnya yang mudah digunakan. Kendala yang dihadapi guru biasanya adalah kemalasan. Mereka sebenarnya memiliki kemampuan, namun karena alasan sudah tua atau bentuk kemalasan lainnya, mereka berhenti belajar dan berkarya dalam memperbaiki pembelajaran mereka.
Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran harus membangun satu kultur belajar bagi guru agar terus berpacu untuk belajar memperbaiki diri. Kepala sekolah perlu menciptakan iklim yang mampu “memaksa” guru untuk belajar dan berlatih. Bisa dengan mengadakan pelatihan secara berkala atau membangun sebuah komunitas berbagi ilmu atau Knowledge Sharing. Wadah peningkatan diri ini bukan sekadar formalitas untuk mengesahkan program dan pembiayaan, namun benar-benar menghasilkan karya nyata yang mampu meningkatkan mutu pembelajaran.
Dengan cara demikian, kegamangan dalam menghadapi pembelajaran di semester berikutnya tidak perlu terjadi. Apapun pola pembelajaran yang digunakan, guru akan siap. Jika harus menggunakan pola daring, guru sudah siap dengan berbagai platform dan media yang diciptakan secara mandiri. Jadi, kuncinya adalah kepemimipinan pembelajaran yang kokoh dari kepala sekolah dan para guru yang aktif meng-upgrade kompetensi keguruannya. Wallaahu a’lam bis shawab.
Gunungkidul, 26 Desember 2020.